IMASHITA DWI ANJANI

Senin, 07 Oktober 2013

Kasus Etika Bisnis Pada Bank X


KASUS ETIKA BISNIS BANK X

Pelanggaran Etika individu Manager Bank X (Malinda Dee) terhadap profesinya
Malinda Dee telah menyalahgunakan jabatan sebagai manajer dan melakukan penyalahgunakan kepercayaan nasabah, blanko yang seharusnya tidak boleh ditandatangani lebih dulu oleh nasabah, tapi telah ditandatangani. Selain itu, BI yang turut menangani kasus Malinda Dee juga menemukan adanya penyetoran uang nasabah melalui Malinda. Padahal, cara seperti ini tidak boleh dilakukan. Penyetoran harus nasabah yang datang langsung ke teller atau kasir.
Malinda Dee telah melanggar kode etik seseorang yang profesional, yaitu :
- Tidak dapat menjaga komitmen untuk berperilaku terhormat dalam melayani klien; Tidak memiliki pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya; Bertindak melampaui batas bukan dalam kerangka pelayanan serta tidak menghormati/menjaga kepercayaan klien; Tidak mampu menunjukkan dedikasi yang terus-menerus untuk mencapai profesionalisme yang tinggi; Tidak memiliki integritas yang mengharuskan seorang profesional untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa; Tidak mengikuti prinsip obyektivitas dan kehati-hatian profesional akibatnya terjadi benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya; Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan. Prinsip obyektivitas mengharuskan untuk bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain;
Pelanggaran Etika Organisasi Bank X terhadap Etika bisnis
Kasus pelanggaran etika bisnis yang terjadi adalah kasus
Irzen Okta, 50 tahun, meninggal dunia di kantor Bank X Cabang Menara Jamsostek, diduga tewas akibat tekanan psikis dari para debt collector lantaran mempertanyakan tagihan kartu kreditnya yang membengkak dari Rp 48 juta menjadi Rp 100 juta. Sebelumnya, Irzen Octa juga mendapatkan perlakuan kasar dari para debt collector yang datang ke rumahnya. Tidak hanya menghina dan berkata-kata kasar, tetapi para debt collector tersebut juga sampai menginap di teras depan rumahnya. Karena merasa tidak mampu membayar, Irzen Octa sebelumnya telah menawarkan beberapa solusi terhadap pihak Bank X seperti menjadi kurir sukarela dan menawarkan agar kasusnya dibawa ke meja hijau, tetapi pihak Bank X tetap bersikeras agar Irzen membayar hutang-hutangnya.
Dalam hal ini sebaiknya Bank X lebih memperhatikan hal-hal berikut:
- Kode etik penagihan utang melekat pada etika bankir yang mengutamakan keamanan nasabah. Jadi, tidak hanya memperlakukan nasabah sebagai obyek;
- Ketika bank bekerja sama dengan penagih utang, kalau terjadi pelanggaran, bank harus ikut bertanggung jawab;
- Seharusnya pihak bank menyelesaikan hutang piutang itu melalui pengadilan perdata, bukan dengan mengerahkan debt collector.
- Oleh karena itu, sebagai perpanjangan tangan bank, debt collector harus bertindak sesuai dengan aturan dan etika serta sepengetahuan bank;
- BI harus menghapus sistem subkontrak (outsourcing) yang melibatkan jasa debt collector dalam penagihan utang kartu kredit.
Dampak dari dua kasus tersebut Bank Indonesia menyatakan Bank X dilarang menerbitkan kartu kredit kepada nasabah baru selama 2 tahun dan memastikan pelanggaran dalam ketentuan layanan prioritas Citigold dan kartu kredit. Bank X dilarang menggunakan jasa penagihan kartu kredit oleh debt collector selama dua tahun, dilarang menerima nasabah baru layanan prioritas atau Citigold selama satu tahun. BI meminta Bank X memecat pegawai di bawah pejabat eksekutif yang terlibat langsung kasus layanan prioritas Citigold Melinda Dee dan penagihan kartu kredit yang menewaskan Irzen Okta. Bank ini juga tidak boleh membuka kantor baru selama 1 tahun terhitung sejak tanggal 6 Mei 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar